Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga
“Berkembangnya bisnis MLM di
Indonesia membuat beberapa pihak ingin turut menikmati keuntungan.
Sejumlah perusahaan yang sebenarnya melakukan praktik money game
mengklaim diri sebagai perusahaan MLM. Walhasil, masyarakat pun turut
membenci perusahaan MLM murni, yang tak ada kaitannya dengan money
game.”
Sedari dulu, perusahaan yang
menggunakan sistem pemasaran berjenjang (multi level marketing,
MLM) sering disandingkan dengan
praktik money game.
Padahal, keduanya tidak sama. Money game
adalah kegiatan menggandakan uang, yang diambil dari hasil merekrut
anggota baru, bukan dari penjualan produk. Kalaupun ada penjualan
produk, biasanya hanya untuk kamuflase. Hal itu yang menjadikan
perbedaan utama antara money game
dan MLM murni.
Selain
itu, perusahaan yang mempraktikkan money game
biasanya menjanjikan seseorang (biasanya anggota baru) akan
mendapatkan untung besar dalam waktu singkat dan effort
(usaha) yang amat kecil. Pihak di balik praktek money game
amat piawai membungkus bisnisnya dengan kedok bisnis yang sah,
seperti pemasaran jaringan (MLM), arisan berantai, koperasi simpan
pinjam, atau bahkan menggunakan teknologi internet.
Daya
tarik money game
ternyata masih menggiurkan. Ternyata, masih banyak orang yang
menginginkan bisa mendapatkan uang dengan mudah, dalam jumlah
melimpah, dan dari usaha yang tak membuatnya terengah-engah. Sialnya,
menjamurnya praktik money game
– yang juga dikenal sebagai skema Ponzi ini telah menjerat banyak
orang. Kasus terakhir yang terbongkar adalah TVI Express Indonesia,
perusahaan yang diduga menjalankan praktek money game
ini berhasil mengumpulkan dana Rp2,6 triliun. Namun, ketika
member-nya
menginginkan uangnya kembali, dana itu sudah lenyap ditelan bumi.
Sayangnya, mayoritas para korban enggan melapor ke pihak berwajib
karena alasan malu.
“Indonesia
telah dijadikan surga bagi para pelaku bisnis money game
untuk mengeruk keuntungan yang besar. Hal ini karena lemahnya sistem
penegakan hukum di tanah air,” keluh Helmy Attamimi, ketua Asosiasi
Penjualan Langsung Indonesia (APLI) pada sebuah talkshow
Anti Money Game,
di Sheraton Hotel, Jakarta, akhir Maret silam. Lebih lanjut Helmy
menyatakan bahwa Indonesia belum memiliki UU Anti Money
Game. “Hal ini yang
menyebabkan para perusahaan yang nggak bener itu
cenderung bebas di Indonesia,” sambung Helmy, berapi-api.
Alhasil,
bisnis money game yang
kian subur ini membawa dampak buruk bagi perusahaan MLM murni di
Tanah Air. “Praktik money game
dilakukan dengan berbagai modus, mulai dari bisnis investasi,
koperasi dan lain sebagainya. Semua ini menjurus ke bisnis MLM yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat,” terang Helmy.
Sementar
itu, di lain kesempatan, Minardi Wiguna, managing director
Smart Naco Indonesia mengakui maraknya praktik money game
membuat masyarakat semakin antipati terhadap bisnis MLM. “Sudah
terlalu banyak korban iming-iming akan mendapatkan keuntungan dalam
waktu singkat. Orang yang tadinya punya harapan, ternyata menerima
kenyataan pahit. Ini karena konsep yang dicanangkan pelaku bisnis
money game hanya fokus
pada profit, bukan proses,” keluh Minardi.
Adapun
Zainal Arifin, Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian
Perdagangan (Kemendag) menegaskan pihaknya terus berupaya memberantas
bisnis penipuan itu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
memperketat aturan pemberian Surat Izin Usaha Penjualan Langsung
(SIUPL). Saat ini, Kemendag telah menerbitkan 322 SIUPL, yang berarti
hanya ada 322 MLM yang legal di negeri ini.
Untuk
mengeluarkan sebuah SIUPL, lanjut Zainal, pihak Kemendag selalu
berkoordinasi dengan APLI untuk mencegah agar tidak ada pelaku bisnis
money game yang lolos.
Selain memperketat pengeluaran SIUPL, pihak Kementerian Perdagangan
juga telah mengajukan draf UU Anti Money Game
ke DPR agar bisa dibahas menjadi sebuah UU. “Kami berharap adanya
UU tersebut bisa menekan praktik money game di
Indonesia,” kata Zainal.
Referensi:
MAJALAH
DUIT! Edisi 05/VII/MEI/2012 halaman 17.
Download artikel tersebut KLIK DISINI AJA,,,